Saturday, August 27, 2016

METODE PENELITIAN "ETNOGRAFI" SOSIOLOGI YANG HARUS DIGUNAKAN & DIPAHAMI MASYARAKAT DALAM HAL PENILAIAN TERHADAP KEPOLISIAN

Turun kelapangan dan pahami mereka
            Asal mula pemikiran kajian lapangan studi etnografi yang mensyaratkan bahwa seorang etnografer harus melihat sendiri kelompok masyarakat yang menjadi objek kajiannya, jika dia ingin mendapatkan teori yang lebih mantap (James P.Spradley, 1997). Pandangan ini sangat paralel dengan impelementasi perubahan paradigma baru Polri yang mensyaratkan bahwa seorang anggota polisi bukanlah seorang pejabat tetapi ia adalah seorang pemimpin yang bukan elitis tetapi lebih dari seorang pemimpin yang populis. Untuk itu ia tidak boleh merasa lebih tinggi dari masyarakat yang dilayaninya, diperlukan shift of mind dari seorang pejabat menjadi seorang pelayan, dalam hal ini yang dilayani adalah masyarakatnya sendiri yang telah menginginkan organ polisi ada ditengahnya sebagai pelindung, pelayan dan pencipta keteraturan sosial. Untuk itu ia perlu sejajar dengan masyarakat yang dilayaninya agar tercipta komunikasi dua arah yang efektif. Itu saja dirasakan masih belum cukup menjaring informasi tentang harapan dan keluhan dari masyarakat terhadap Polri, apalagi harus mengetahui dan memahami pola tingkah laku dari kelompok masyarakat, seperti cara hidup masyarakat, tingkat pengetahuan yang dimiliki masyarakat yang digunakan untuk menginterpretasikan pengalaman yang akhirnya tercetus sebagai tingkah laku sosial yang disebut dengan kebudayaan masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengetahui semua itu, Polri telah merubah paradigma memanggil menjadi mendatangi, artinya seorang pemimpin polisi (pada hekakatnya seluruh anggota Polri adalah pemimpin) harus turun kelapangan mendatangi masyarakatnya, dengan lebih banyak mendengar daripada berbicara. Kiranya konsep-konsep studi etnografi sangatlah relevan dijadikan landasan teoritis diterapkan guna menjaring semua tingkah laku sosial, harapan dan keluhan masyarakat kepada polisinya melalui suatu metode dan pendekatan yang benar, sistematik, holistik-integral, yang dimiliki dalam penelitian etnografi.  
            Seringkali seorang pemimpin polisi salah mengambil keputusan karena ia tidak memperoleh informasi yang cukup dari lapangan, karena keputusan yang diambil dilakukan dari belakang meja kerjanya. Seorang Kapolres yang memerintahkan dua orang anggota polisi berseragam Samapta, untuk menangani perkelahian disatu kampung, ternyata kedua orang anggotanya justru terluka, senjatanya hilang dan ditawan oleh para perusuh karena jumlah mereka yang sangat banyak melibatkan perkelahian antar kampung yang tidak dapat ditangani hanya oleh dua orang anggota polisi yang berseragam saja. Hal ini terjadi karena Kapolres hanya menerima laporan dibelakang meja dan langsung memerintah tanpa mengetahui kondisi lapangan yang sebenarnya. Demikian pula ketika, seorang Kapolres diundang oleh satu Majelis Taklim yang sangat fanatik, ketika datang tidak membuka sepatu, mengucapkan salam dan menjabat tangan para sesepuh terlebih dahulu, maka untuk selanjutnya para anggota Majelis Taklim tidak akan pernah mengundang Kapolres lagi, serta tidak akan pernah menerima kehadiran dan pesan-pesan kamtibmas yang disampaikan oleh anggota polisi, karena komunitas itu telah mengintrepretasikan secara general bahwa polisi yang di representasikan oleh Kapolres, tidak menghormati kebudayaan mereka. Hal ini terjadi karena seorang pemimpin polisi tidak mau turun kelapangan mendatangi masyarakatnya dan mendapatkan gambaran yang utuh tentang kebudayaan masyarakat yaitu tentang apa yang mereka lakukan, apa yang mereka ketahui dan benda-benda atau alat apa yang merke buat dan gunakan dalam kehidupan mereka, termasuk harapan dan keluhan dengan tidak saja dengan cara bertanya, akan tetapi juga dilakukan dengan datang dan mengamati.
            Setelah melakukan turun kelapangan mendatangi masyarakat dilingkup tugasya malalui pengamatan dan wawancara, maka seorang pemimpin polisi kemudian mencatat, mendiskusikan dan mengalisa untuk selanjutnya dituangkan dalam laporan tertulis yang biasa disebut dengan Intel Dasar, yang memuat tentang kebudayaan dari masyarakat lingkup tugasnya yang memiliki perbedaan antara satu komunitas dengan lainnya, misalnya respons warga Pondok Indah terhadap perkelahian antar kelompok akan lebih rendah ketimbang warga Pondok Pinang, walaupun mereka hidup berdekatan satu dengan lainnya. Kemudian hasil turun kelapangan juga sangat berguna dalam memetakan hakekat ancaman (FKK, PH dan AF) yang mungkin terjadi, ideologi dan politik, tingkat sosial ekonomi, kepadatan penduduk dan seterusnya. Semua itu merupakan data dinamis yang harus terus diolah menjadi bahan informasi. Dinamika informasi yang berkembang mengharuskan juga seringnya turun kelapangan, artinya seorang pemimpin polisi tidak boleh dan merasa cukup denga sekali saja turun kelapangan, perlu dilakukan berulangkali, karena tidak mungkin segera menangkap makna yang timbul dari gejala dan fenomena yang ada melalui pengamatan yang singkat, disamping kebudayaan dan tingkah laku sosial, harapan dan keluhan masyarakat juga terus berubah dalam intensitas yang berbeda-beda.

Kembangkan informan dan temukan opinion leader
            Setelah turun kelapangan dan mendatangi masyarakatnya, barulah disadari oleh seorang pemimpin polisi bahwa demikian banyak informasi yang tersedia, demikian banyak orang yang ingin memberikan informasi, sehingga mulai disadari perlunya memilih orang yang benar-benar dapat dijadikan informan dan mulai dirasakannya keterbatasan yang dimiliki untuk menjaring semua informasi, yang akhirnya dirasakan perlunya membangun jaringan informan, mengorganisirnya, mencatat, memilah dan menganalisanya.
            Pemahaman terminologi informan dikalangan polisi juga akan berbeda-beda tergantung dari interaksionisme simbolik tentang makna dari terminologi informan yang didasarkan atas interaksi sosial sesama anggota polisi maupun hasil interaksi dengan bidang tugas yang dihadapinya. Seorang anggota reserse memberikan makna seorang informan adalah orang yang dapat memberikan informasi tentang keberadaan tersangka tindak pidana, sedangka anggota intelijen memberikan makna sebagai orang yang dapat menjelaskan siapa tokoh masyarakat dan agama yang paling berpengaruh disatu komunitas, dan seterusnya. Lebih dari semua itu, seorang informan yang dipilih haruslah orang yang dapat menghasilkan deskripsi kebudayaan dari satu masyarakat, artinya informan adalah seorang pembicara asli (native speaker) yang berbicara dengan mengulang kata-kata, frasa dan kalimat dalam bahasa atau dialeknya sebagai model imitasi dan sumber informasi (James P.Spradley, 1997).
            Melalui studi etnografi juga dipertimbangkan beberapa pendekatan yang diperlukan dalam memilih seorang informan yang didasarkan atas asumsi bahwa kepentingan informan tentunya berbeda dengan kepentingan orang lain, informan dapat saja merupakan orang yang memiliki masalah , keprihatinan dan kepentingan tertentu. Juga hak-hak, kepentingan, privasi dan sensitivitas informan juga perlu dilindungi, serta jangan sampai menimbulkan kesan bahwa kita mengeksploitasi informan untuk kepentingan pribadi untuk itu perlu dipertimbangkan reward yang sesuai atas kesediaan dan informasi yang diberikan. Kemampuan menyampaikan tujuan dari yang kita inginkan juga perlu disampaikan dengan jelas sehingga tidak terjadi distorsi terhadap feedback yang diharapkan.

Memahami adanya perbedaan interpretasi terhadap objek yang sama
            Studi etnografi juga memberikan pemahaman kepada anggota Polri, bahwa terdapat perbedaan interpretasi dari kelompok masyarakat, antara Polri dengan masyarakat, bahkan antara kelompok anggota polisi dengan kelompok anggota polisi lainnya dalam menarik makna dari objek atau peristiwa yang sama. Misalnya, penangkapan terhadap para tersangka teror bom dari kelompok Al-Jamaah Al-Islamiyah. Satu sisi polisi bertindak secara impersonal atas nama undang-undang untuk menangkap pelaku tindak pidana teror terhadap siapa saja tanpa melihat sukubangsa dan agama, namun disisi lain kelompok masyarakat mengganggap bahwa tindakan polisi adalah pesanan dari Amerika Serikat dan diarahkan untuk menangkap para aktivis Mesjid atau aktivis Islam. Disini terlihat dua kelompok yang berbeda mengamati kejadian yang sama tetapi interpretasi mereka yang berbeda.  
Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan konsep kebudayaan yang terdiri atas berbagai simbol yang memiliki banyak makna, serta teori sosiologi interaksionisme simbolik yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan makna. Bahwa manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Artinya anggota polisi dan sebagian kelompok masyarakat berinteraksi atas dasar makna yang terkandung dalam berbagai hal itu bagi mereka. Angota polisi harus bertindak terhadap pelaku kejahatan, disatu sisi sebagian kelompok masyarakat mengganggap aktivis mesjid tidak mungkin melakukan peledakan apalagi teror bom.
Berikutnya bahwa makna berbagai hal itu berasal dari atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Anggota polisi berdasarkan pengetahuannya, berdasarkan pengalamannya secara spontan melakukan tindakan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, sementara itu sebagian kelompok masyarakat menggangap bahwa aktivis Mesjid harus dihormati, apalagi dia seorang Imam, atau dikatakan ulama yang tidak pernah melakukan kesalahan.
Kemudian makna yang ditangkap dari peristiwa tersebut ditangani dan dimodifikasi melalui proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia hadapi. Anggota polisi melakukan tindakan hukum berupa penangkapan terhadap pelaku tindak pidana, sementara itu sebagian kelompok masyarakat berusaha memprotes bahkan menuntut tindakan polisi yang tidak menghormati umat Islam.

Memahami kebudayaan Polri dan yang berkembang didalamnya
            Seperti telah disinggung dalam uraian sebelumnya, sebagai seorang pemimpin polisi, pertamakali sebelum melihat keluar, pahami dahulu diri kedalam diri sendiri, artinya dia harus memahami terlebih dahulu kebudayaan yang berkembang didalam organisasinya. Pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti pendidikan telah memberikan pola tingkah laku tersendiri, namun demikian anggota polisi itu juga bagian dari anggota masyarakat ditempat tinggalnya, bagian dari suatu keluarga yang juga memiliki kebudayan, sehingga ketika terjadi interaksi antara anggota polisi dengan anggota polisi lainnya, maka akan terproduksi pola tingkah laku sebagai kebudayaan yang baru, cliqie-cliqie yang terbentuk karena persamaan agama, sukubangsa, kegemaran dan lain sebagainya juga telah memiliki kebudayaan sendiri, demikian pula berbagai pengalaman dalam menangani permasalahan ditengah masyarakat telah memberikan pengetahuan tersendiri dan makna terhadap tingkah lakunya.
            Kemampuan untuk memahami berbagai kebudayaan harus segera dilakukan agar berbagai kebudayaan tersebut paralel dengan pencapaian tujuan organisasi. Beberapa contoh dari kebudayaan yang berkembang ditubuh Polri yang harus dipahami sebagai produksi dari interaksi sosial dan pengetahuan dari pengalaman tugas, antara lain:
  1. Polisi suka berbohong dalam melindungi temannya.
        Rasa senasib, seperjuangan, setia kawan yang melahirkan espirit de corps juga harus dipahami sebagai produk kebudayaan yang harus dihormati berkembang diantara anggota polisi. Seringkali bila terjadi kesalahan diantara salah satu anggota kelompoknya, maka anggota kelompok lainnya akan berusaha sekuat mungkin melindungi walaupun dengan berbohong sekalipun. Disadari oleh anggota kelompok itu bahwa tindakan berbohong juga akan membawa resiko. Namun sebagai seorang pemimpin polisi yang memahami studi etnografi, memahami bahwa memang itulah kebudayaan yang terbentuk diantara anggota kelompoknya. Sebagai satu kebudayaan maka tindakan berbohong dalam rangka melindungi anggota kelompoknya merupakan sesuatu yang harus diketahui, dipercayai dan dilakukan oleh anggota kelompok tersebut agar ia diterima sebagai bagian dari kelompoknya. Penyimpangan atau pelanggaran atas nilai-nilai budaya yang ada, berarti kesediaan untuk dipisahkan dari kelompoknya. Disinilah letaknya kemampuan seorang pemimpin polisi untuk memahami salah satu kebudayaan dari kelompok anggotanya, sehingga dengan pemahaman tersebut dapat dicari jalan keluar yang paling baik dengan tetap menghargai kebudayaan yang ada.
  1. Asas presumption of innocent versus presumption of guilty.
        Salah satu asas dalam hukum acara pidana adalah asas presumption of innocent yaitu asas praduga tidak bersalah, kepada seorang yang disangka melakukan tindak pidana, patut dianggap tidak bersalah sampai mendapatkan kekuatan hukum yang tetap dari pengadilan. Asas ini mengandung makna yang mendalam terutama pada penghormatan hak asasi manusia dan pembuktian. Akan tetapi dalam kenyataan dilapangan, terutama pada anggota difungsi reserse, justru berkembang kebudayaan yang menganut asas presumption of guilty, yaitu menganggap semua pelaku kejahatan adalah bersalah. Ini juga merupakan satu kebudayaan yang terbentuk dalam kelompok anggota polisi yang harus dipahami oleh seorang pemimpin polisi. Pertanyaannya kenapa anggota memiliki backmind seperti itu?. Hal ini dipahami karena para anggota dengan bekal pengetahuan yang dialami dari pengalaman bertahun-tahun dan dengan berbagai kejahatan yang telah dihadapinya, akhirnya terbentuk suatu pengetahuan bahwa para penjahat harus dibasmi dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dan penegakkan hukum.


  1. Asas due process model versus crime control model.
       Hampir sama dengan alasan diatas, due process model mensyaratkan bahwa segala tindakan polisi harus didasarkan pada hukum material KUHAP dan formal yang ada, misalnya untuk melakukan penangkapan diperlukan surat perintah penangkapan dan perintah penangkapan tersebut segera diberikan tembusannya kepada keluarga tersangka. Demikian pula ketika anggota reserse akan melakukan penyitaan diperlukan surat perintah penyitaan, izin dari pengadilan negeri dan mininal disaksikan oleh dua orang saksi dari lingkungan setempat. Namun bekal pengetahuan yang terbentuk dari pengalaman telah mempengaruhi tingkah laku anggota dalam melakukan penangkapan, penahanan atau penyitaan yang penting bagi anggota adalah menangkap dan segera lindungi masyarakat. Kasus-kasus terorisme yang extra ordinary, organized crime, menelan korban jiwa yang  massal dengan tidak pandang bulu korban, organisasi sangat rahasia (tandzim sirri), sistem sel, dan setiap anggota terroris ketika ditangkap, maka jawabannya hanya dua kata : “tidak tahu dan atau lupa”, maka pengetahuan tersebut telah menimbulkan makna bagi tingkah laku anggota untuk bertindak yang juga sangat cepat, kadangkala dilakukan tanpa surat perintah, penangkapan dilakukan dengan diam-diam, tanpa pemberitahuan kepada keluarga tersangka dan seringkali dilakukan interogasi yang panjang dan melelahkan yang terpaksa harus dilakukan diluar kantor polisi. Hal ini dilakukan dalam menjawab organized crime, tandzim sirri dan jawaban yang hanya dua kata :”lupa dan atau tidak tahu”. Tindakan anggota polisi ini dapat dilihat suatu kebudayaan yang berlandaskan crime contol model, yang sama sekali bertentangan dengan asas due process model.
  1. Kewenangan penahanan.
        Sesuai dengan aturan hukum material pidana (KUHAP), kewenangan melakukan penahanan diberikan kepada penyidik, artinya setiap anggota polisi yang berkualifikasi penyidik baik secara struktural maupun fungsional pada lingkungan fungsi reserse dapat melakukan penahanan. Terdapat contoh menarik sebagai kebudayaan dilingkungan fungsi reserse yang masih berkembang sehubungan dengan penahanan sebagi berikut: Seorang Kasat Serse yang sekaligus sebagai penyidik suatu ketika melakukan penahanan terhadap seorang tersangka dengan bukti yang cukup, untuk itu kemudian dikeluarkan surat perintah penahanan, akan tetapi ketika tersangka akan dimasukan kedalam ruang tahanan, tiba-tiba Kapolres memerintahkan untuk mengeluarkan tersangka tersebut, dan kasat reserse harus mentaati perintah selanjutnya mengeluarkan tersangka yang telah memenuhi bukti yang cukup itu. Secara kewenangan memang kasat reserse memiliki kewenangan, namun disisi lain terdapat suatu nilai-nilai kebudayaan antara seorang atasan dengan bawahan yang disebut dengan loyalitas untuk selalu dihormati, dipercayai, disepakati dan dilaksanakan yang mengontrol tingkah laku. Inilah suatu nilai-nilai yang berkembang sebagai kebudayaan yang perlu dipahami.

Memahami kebudayaan pencari keadilan
            Pencari keadilan disini diartikan sebagai para korban, pelapor suatu tindak pidana, saksi, tersangka dan para penasehat hukum yang berhubungan dengan polisi ketika diduga telah terjadi tindak pidana. Studi etnografi juga memberikan pemahaman bahwa mereka memiliki kebudayaan yang didasarkan atas pengetahuan dan interaksi masing-masing pengalaman yang perlu dipahami oleh seorang pemimpin polisi dalam melaksanakan tugas memberikan perlindungan dan pelayanan kepada mereka. Pemahaman ini diperlukan  agar kita dapat mengambil tindakan-tindakan yang tepat ketika harus berhadapan dengan tingkah laku yang berbeda dengan harapan kita, berbeda dengan kebudayaan kita.
            Studi etnografi juga memberikan pelajaran kepada pemimpin polisi agar memahami tingkah laku dan sikap dari korban yang sering mendesak polisi untuk segera menuntaskan perkara yang menimpanya, yang kadangkala anggota polisi mengaggap korban tidak mau mengetahui berbagai kesulitan polisi dalam menangani berbagai kasus. Melalui studi etnografi ini diharapkan setiap anggota polisi yang juga sebagai pemimpin polisi dapat memahami sikap dari para korban sebagai nilai-nilai kebudayaan yang tentunya terbentuk melalui proses dan latar belakang tertentu. Pemahaman akan sikap para korban tentunya disertai sikap menghargai dan empathi atas sikap yang ditunjukan oleh para korban. Berbagai sikap dari korban seperti sering bertanya mendesak perkembangan kasus, marah-marah dan bahkan mencaci anggota polisi karena lambat penanganan perkara, rasa kurang percaya, sulit dihubungi, sulit berkomunikasi, sulit memberikan keterangan, dan lain sebagainya. Sikap dan tindakan ini seharusnya ditarik maknanya, sehingga dapat diketahui apa latar belakang dari segala tindakan dan sikap para korban tersebut, bukan sebaliknya justru dianggap tidak menghargai upaya polisi yang justru semakin membuat jarak antara pelayan dengan yang dilayani, antara pencari fakta dengan pemilik fakta, antara masyarakat yang memberi wewenang dengan organ polisi yang diberi wewenang.
            Menghadapi sikap dari para tersangka yang suka berbohong, menutupi perbuatan, sulit memberikan keterangan, atau menghadapi tindakan brutal tersangka kepada korban, sadistis atau bahkan membunuh, maka melalui studi etnografi ini, para anggota polisi harus mampu menggali asal-usul tindakan tersebut dilakukan, pengalaman apa yang membentuk pengetahuan tersangka sampai akhirnya melakukan tingkah laku dan perbuatan tersebut. Seorang tersangka yang melakukan penganiayaan dan tindakan kekerasan terhadap orang lain, maka perlu dipahami bahwa tindakannya itu sebagai akumulasi dari berbagai pengalaman dan situasi yang dialami oleh tersangka tersebut, sehingga tidak tepat apabila tersangka yang ketika diminta keterangannya kemudian mendapatkan kekerasan oleh anggota polisi karena sulit memberikan keterangan atau tidak mau bicara atau tidak mengakui perbuatannya. Seharusnya, seorang anggota reserse, segera memahami tindakan tersangka tersebut dan menarik makna yang terkandung dan yang menyebabkan kenapa tersangka bertindak seperti itu dan mengapa tersangka tidak mau atau sulit diambil keterangannya. Dengan mengetahui latar belakang tindakan tersebut dilakukan tentunya akan memudahkan untuk mengetahui kejadian yang terjadi, barang bukti yang digunakan atau biasa disimpan, orang terdekat yang dapat diajak bicara, dan memudahkan membangun komunikasi dengan tersangka.
            Demikian pula dalam memahami kebudayaan dari para penasehat hukum yang selalu ingin dianggap “berharga” dan “penting” didepan klien-nya.  Anggota reserse perlu memahami ini sebagai penghargaan atas profesi mereka dan mendukung para penasehat hukum tersebut, sehingga tercipta komunikasi yang harmonis dan saling menghargai antara penyidik dengan penasehat hukum. Memahami tidak berarti mengalah, tetapi lebih merupakan mencari makna dari setiap tindakan, gejala dan peristiwa sehingga dapat ditemukan asal-usul terjadinya tindakan, gejala dan peristiwa, yang kemudian memahami dimana letak critical point yang dapat dimanfaatkan untuk mensinergikan antara kebudayaan mereka dengan pencapaian tujuan kita.
                       
Memahami kebudayaan masyarakat disekitar daerah tugas
            Studi etnografi memberikan pengetahuan kepada anggota polisi, untuk memahami berbagai kebudayaan yang ada dalam suatu kelompok masyarakat, bahkan dalam satu komunitas. Manfaat dari pemahaman dari kebudayaan yang berkembang tersebut adalah :
  1. Studi etnografi dapat digunakan untuk menemukan pemecahan masalah secara lokal yang belum tentu dapat diterapkan diwilayah lain.
  2. Studi etnografi dapat segera memahami tingkah laku dari warga masyarakat dalam menghadapi suatu peristiwa, sehingga dari pemahaman tersebut seorang anggota polisi darpat melakukan antisipasi dini. Misalnya, kebiasaan masyarakat dikampung Pondok Pinang yang gemar bermain dengan petasan ketika malam takbiran lebaran Iedul Fitri atau pada malam tahun baru. Kebiasaan ini sudah menjadi bagian dari kebudayaan dari warga disatu komunitas, sehingga diperlukan tindakan pemahaman tentang bahaya bermain petasan menjelang malam takbiran dan malam tahun baru, serta pengawasan tempat-tempat umum agar tidak terjadi kebakaran atau kerusakan yang meluas.
  3. Studi etnografi dapat membantu mempermudah mencari para opinion leader dan informal leader pada satu komunitas.
  4. Studi etnografi membantu mempermudah penyusunan peta potensi konflik diwilayah tugas. Kasus terbunuhnya dua orang simpatisan partai politik di kabupaten Buleleng Singaraja Bali, merupakan salah satu contoh rendahnya pemahaman akan studi etnografi. Apabila seorang pimpinan polisi setempat mengetahui bahwa disatu wilayahnya terdapat kelompok yang sangat fanatik dengan satu partai politik dan sulit menerima kehadiran partai politik yang lain, maka ini sudah merupakan satu point tentang adanya potensi konflik disatu daerah, seharusnya ini sudah dipetakan dan disampaikan kepada seluruh anggota untuk diketahui dan diantisipasi. Ditambah dengan rekor kasus tertinggi di kabupaten Buleleng adalah perkelahian antar kelompok yang mudah sekali dipicu karena minum-minuman keras, balap sepeda motor, bahkan dalam pertandingan sepakbola antara kelurahan. Dua potensi konflik ini bila bertemu satu dengan lainnya, maka dapat diprediksi akan menimbulkan kerusahan massa yang setidaknya dapat menimbulkan kerugian materi bahkan kerugian jiwa.
  5. Studi etnografi mempermudah pemetaan penempatan anggota secara reguler stationer  pada daerah-daerah rawan pelanggaran yang memerlukan kehadiran polisi sebagai pelayan dan pencipta keteraturan sosial.
  6. Studi etnografi memberikan pengetahuan kepada anggota polisi tentang bagaimana dia harus bersikap, bertutur kata dan bertindak dalam satu komunitas, baik ketika melakukan kegiatan pemolisian maupun ketika melakukan penegakkan hukum.
  7. Studi etnografi memberikan informasi tentang harapan dan keluhan masyarakat tentang keamanan dilingkungannya.
  8. Studi etnografi memberikan gambaran yang murni tentang pandangan, harapan dan penilaian masyarakat terhadap polisinya.
  9. Dan studi etnografi juga membantu mempermudah menjelaskan tentang tugas-tugas polisi kepada masyarakat.

Perlunya kemampuan komunikasi untuk sampaikan makna
            Akhirnya dalam studi etnografi disadari betapa pentingnya kemampuan komunikasi dari anggota polisi, artinya diperlukan kemampuan untuk memahami makna yang terkandung dalam sikap dan tindakan masyarakat serta sebaliknya diperlukan kemampuan menyampaikan pesan-pesan dari anggota polisi kepada masyarakat, agar tidak terjadi distorsi dalam arus komunikasi yang terjadi.
            Memahami makna dari tindakan dan sikap masyarakat diperlukan pengamatan dan wawancara yang berulang-ulang dan membandingkan dengan informasi dari berbagai pihak, untuk itu kemampuan untuk menganalisa, memilih informan (baca: informan dari terminologi penelitian etnografi) dan interpretasi harus dilakukan dengan pendekatan mencari kebenaran dan kevalidan atas data dan informasi yang didapat.
            Disisi lain, setelah memahami berbagai makna yang muncul dari berbagai simbol-simbol kebudayaan suatu masyarakat, maka selanjutnya diperlukan kemampuan berkomunikasi bagi anggota polisi untuk menyampaikan tentang tugas-tugas polisi dan makna dari berbagai tindakan polisi.
            Demikianlah beberapa manfaat memahami studi etnografi bagi Polri, semoga pengetahuan ini dapat juga diketahui oleh rekan-rekan saya, pemimpin polisi pelayan masyarakat sejati, dan saya akan berusaha untuk menyampaikannya walaupun dengan keterbatasan pengetahuan tentang studi etnografi yang saya miliki, sehingga mereka juga dapat memahami berbagai keragaman kebudayaan yang ada didaerah tugas sebagai kekayaan dan sumberdaya yang mampu menjadi komplementer bagi pencapaian keteraturan sosial. Semoga.

#polribaginegeri
#timonlinemedsospoldajatim
#komunitasbloggerpoldajatim
#sosiologiunesa2015 

No comments: