Turun kelapangan dan pahami mereka
Asal mula pemikiran kajian lapangan studi etnografi yang mensyaratkan
bahwa seorang etnografer harus melihat sendiri kelompok masyarakat yang
menjadi objek kajiannya, jika dia ingin mendapatkan teori yang lebih
mantap (James P.Spradley, 1997). Pandangan ini sangat paralel dengan
impelementasi perubahan paradigma baru Polri yang mensyaratkan bahwa
seorang anggota polisi bukanlah seorang pejabat tetapi ia adalah seorang
pemimpin yang bukan elitis tetapi lebih dari seorang pemimpin yang
populis. Untuk itu ia tidak boleh merasa lebih tinggi dari masyarakat
yang dilayaninya, diperlukan shift of mind dari seorang pejabat
menjadi seorang pelayan, dalam hal ini yang dilayani adalah
masyarakatnya sendiri yang telah menginginkan organ polisi ada
ditengahnya sebagai pelindung, pelayan dan pencipta keteraturan sosial.
Untuk itu ia perlu sejajar dengan masyarakat yang dilayaninya agar
tercipta komunikasi dua arah yang efektif. Itu saja dirasakan masih
belum cukup menjaring informasi tentang harapan dan keluhan dari
masyarakat terhadap Polri, apalagi harus mengetahui dan memahami pola
tingkah laku dari kelompok masyarakat, seperti cara hidup masyarakat,
tingkat pengetahuan yang dimiliki masyarakat yang digunakan untuk
menginterpretasikan pengalaman yang akhirnya tercetus sebagai tingkah
laku sosial yang disebut dengan kebudayaan masyarakat. Oleh karena itu,
untuk mengetahui semua itu, Polri telah merubah paradigma memanggil
menjadi mendatangi, artinya seorang pemimpin polisi (pada hekakatnya
seluruh anggota Polri adalah pemimpin) harus turun kelapangan mendatangi
masyarakatnya, dengan lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Kiranya konsep-konsep studi etnografi sangatlah relevan dijadikan
landasan teoritis diterapkan guna menjaring semua tingkah laku sosial,
harapan dan keluhan masyarakat kepada polisinya melalui suatu metode dan
pendekatan yang benar, sistematik, holistik-integral, yang dimiliki
dalam penelitian etnografi.
Seringkali seorang pemimpin polisi salah mengambil keputusan karena ia
tidak memperoleh informasi yang cukup dari lapangan, karena keputusan
yang diambil dilakukan dari belakang meja kerjanya. Seorang Kapolres
yang memerintahkan dua orang anggota polisi berseragam Samapta, untuk
menangani perkelahian disatu kampung, ternyata kedua orang anggotanya
justru terluka, senjatanya hilang dan ditawan oleh para perusuh karena
jumlah mereka yang sangat banyak melibatkan perkelahian antar kampung
yang tidak dapat ditangani hanya oleh dua orang anggota polisi yang
berseragam saja. Hal ini terjadi karena Kapolres hanya menerima laporan
dibelakang meja dan langsung memerintah tanpa mengetahui kondisi
lapangan yang sebenarnya. Demikian pula ketika, seorang Kapolres
diundang oleh satu Majelis Taklim yang sangat fanatik, ketika datang
tidak membuka sepatu, mengucapkan salam dan menjabat tangan para sesepuh
terlebih dahulu, maka untuk selanjutnya para anggota Majelis Taklim
tidak akan pernah mengundang Kapolres lagi, serta tidak akan pernah
menerima kehadiran dan pesan-pesan kamtibmas yang disampaikan oleh
anggota polisi, karena komunitas itu telah mengintrepretasikan secara
general bahwa polisi yang di representasikan oleh Kapolres, tidak
menghormati kebudayaan mereka. Hal ini terjadi karena seorang pemimpin
polisi tidak mau turun kelapangan mendatangi masyarakatnya dan
mendapatkan gambaran yang utuh tentang kebudayaan masyarakat yaitu
tentang apa yang mereka lakukan, apa yang mereka ketahui dan benda-benda
atau alat apa yang merke buat dan gunakan dalam kehidupan mereka,
termasuk harapan dan keluhan dengan tidak saja dengan cara bertanya,
akan tetapi juga dilakukan dengan datang dan mengamati.
Setelah melakukan turun kelapangan mendatangi masyarakat dilingkup
tugasya malalui pengamatan dan wawancara, maka seorang pemimpin polisi
kemudian mencatat, mendiskusikan dan mengalisa untuk selanjutnya
dituangkan dalam laporan tertulis yang biasa disebut dengan Intel Dasar,
yang memuat tentang kebudayaan dari masyarakat lingkup tugasnya yang
memiliki perbedaan antara satu komunitas dengan lainnya, misalnya
respons warga Pondok Indah terhadap perkelahian antar kelompok akan
lebih rendah ketimbang warga Pondok Pinang, walaupun mereka hidup
berdekatan satu dengan lainnya. Kemudian hasil turun kelapangan juga
sangat berguna dalam memetakan hakekat ancaman (FKK, PH dan AF) yang
mungkin terjadi, ideologi dan politik, tingkat sosial ekonomi, kepadatan
penduduk dan seterusnya. Semua itu merupakan data dinamis yang harus
terus diolah menjadi bahan informasi. Dinamika informasi yang berkembang
mengharuskan juga seringnya turun kelapangan, artinya seorang pemimpin
polisi tidak boleh dan merasa cukup denga sekali saja turun kelapangan,
perlu dilakukan berulangkali, karena tidak mungkin segera menangkap
makna yang timbul dari gejala dan fenomena yang ada melalui pengamatan
yang singkat, disamping kebudayaan dan tingkah laku sosial, harapan dan
keluhan masyarakat juga terus berubah dalam intensitas yang
berbeda-beda.
Kembangkan informan dan temukan opinion leader
Setelah turun kelapangan dan mendatangi masyarakatnya, barulah disadari
oleh seorang pemimpin polisi bahwa demikian banyak informasi yang
tersedia, demikian banyak orang yang ingin memberikan informasi,
sehingga mulai disadari perlunya memilih orang yang benar-benar dapat
dijadikan informan dan mulai dirasakannya keterbatasan yang dimiliki
untuk menjaring semua informasi, yang akhirnya dirasakan perlunya
membangun jaringan informan, mengorganisirnya, mencatat, memilah dan
menganalisanya.
Pemahaman terminologi informan dikalangan polisi juga akan berbeda-beda
tergantung dari interaksionisme simbolik tentang makna dari terminologi
informan yang didasarkan atas interaksi sosial sesama anggota polisi
maupun hasil interaksi dengan bidang tugas yang dihadapinya. Seorang
anggota reserse memberikan makna seorang informan adalah orang yang
dapat memberikan informasi tentang keberadaan tersangka tindak pidana,
sedangka anggota intelijen memberikan makna sebagai orang yang dapat
menjelaskan siapa tokoh masyarakat dan agama yang paling berpengaruh
disatu komunitas, dan seterusnya. Lebih dari semua itu, seorang informan
yang dipilih haruslah orang yang dapat menghasilkan deskripsi
kebudayaan dari satu masyarakat, artinya informan adalah seorang
pembicara asli (native speaker) yang berbicara dengan mengulang
kata-kata, frasa dan kalimat dalam bahasa atau dialeknya sebagai model
imitasi dan sumber informasi (James P.Spradley, 1997).
Melalui studi etnografi juga dipertimbangkan beberapa pendekatan yang
diperlukan dalam memilih seorang informan yang didasarkan atas asumsi
bahwa kepentingan informan tentunya berbeda dengan kepentingan orang
lain, informan dapat saja merupakan orang yang memiliki masalah ,
keprihatinan dan kepentingan tertentu. Juga hak-hak, kepentingan,
privasi dan sensitivitas informan juga perlu dilindungi, serta jangan
sampai menimbulkan kesan bahwa kita mengeksploitasi informan untuk
kepentingan pribadi untuk itu perlu dipertimbangkan reward yang
sesuai atas kesediaan dan informasi yang diberikan. Kemampuan
menyampaikan tujuan dari yang kita inginkan juga perlu disampaikan
dengan jelas sehingga tidak terjadi distorsi terhadap feedback yang diharapkan.
Memahami adanya perbedaan interpretasi terhadap objek yang sama
Studi etnografi juga memberikan pemahaman kepada anggota Polri, bahwa
terdapat perbedaan interpretasi dari kelompok masyarakat, antara Polri
dengan masyarakat, bahkan antara kelompok anggota polisi dengan kelompok
anggota polisi lainnya dalam menarik makna dari objek atau peristiwa
yang sama. Misalnya, penangkapan terhadap para tersangka teror bom dari
kelompok Al-Jamaah Al-Islamiyah. Satu sisi polisi bertindak secara
impersonal atas nama undang-undang untuk menangkap pelaku tindak pidana
teror terhadap siapa saja tanpa melihat sukubangsa dan agama, namun
disisi lain kelompok masyarakat mengganggap bahwa tindakan polisi adalah
pesanan dari Amerika Serikat dan diarahkan untuk menangkap para aktivis
Mesjid atau aktivis Islam. Disini terlihat dua kelompok yang berbeda
mengamati kejadian yang sama tetapi interpretasi mereka yang berbeda.
Hal
ini dapat dijelaskan berdasarkan konsep kebudayaan yang terdiri atas
berbagai simbol yang memiliki banyak makna, serta teori sosiologi
interaksionisme simbolik yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam
kaitannya dengan makna. Bahwa manusia melakukan berbagai hal atas dasar
makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Artinya
anggota polisi dan sebagian kelompok masyarakat berinteraksi atas dasar
makna yang terkandung dalam berbagai hal itu bagi mereka. Angota polisi
harus bertindak terhadap pelaku kejahatan, disatu sisi sebagian kelompok
masyarakat mengganggap aktivis mesjid tidak mungkin melakukan peledakan
apalagi teror bom.
Berikutnya
bahwa makna berbagai hal itu berasal dari atau muncul dari interaksi
sosial seseorang dengan orang lain. Anggota polisi berdasarkan
pengetahuannya, berdasarkan pengalamannya secara spontan melakukan
tindakan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, sementara itu
sebagian kelompok masyarakat menggangap bahwa aktivis Mesjid harus
dihormati, apalagi dia seorang Imam, atau dikatakan ulama yang tidak
pernah melakukan kesalahan.
Kemudian
makna yang ditangkap dari peristiwa tersebut ditangani dan dimodifikasi
melalui proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya
dengan berbagai hal yang dia hadapi. Anggota polisi melakukan tindakan
hukum berupa penangkapan terhadap pelaku tindak pidana, sementara itu
sebagian kelompok masyarakat berusaha memprotes bahkan menuntut tindakan
polisi yang tidak menghormati umat Islam.
Memahami kebudayaan Polri dan yang berkembang didalamnya
Seperti telah disinggung dalam uraian sebelumnya, sebagai seorang
pemimpin polisi, pertamakali sebelum melihat keluar, pahami dahulu diri
kedalam diri sendiri, artinya dia harus memahami terlebih dahulu
kebudayaan yang berkembang didalam organisasinya. Pengetahuan yang
diperoleh selama mengikuti pendidikan telah memberikan pola tingkah laku
tersendiri, namun demikian anggota polisi itu juga bagian dari anggota
masyarakat ditempat tinggalnya, bagian dari suatu keluarga yang juga
memiliki kebudayan, sehingga ketika terjadi interaksi antara anggota
polisi dengan anggota polisi lainnya, maka akan terproduksi pola tingkah
laku sebagai kebudayaan yang baru, cliqie-cliqie yang
terbentuk karena persamaan agama, sukubangsa, kegemaran dan lain
sebagainya juga telah memiliki kebudayaan sendiri, demikian pula
berbagai pengalaman dalam menangani permasalahan ditengah masyarakat
telah memberikan pengetahuan tersendiri dan makna terhadap tingkah
lakunya.
Kemampuan untuk memahami berbagai kebudayaan harus segera dilakukan
agar berbagai kebudayaan tersebut paralel dengan pencapaian tujuan
organisasi. Beberapa contoh dari kebudayaan yang berkembang ditubuh
Polri yang harus dipahami sebagai produksi dari interaksi sosial dan
pengetahuan dari pengalaman tugas, antara lain:
- Polisi suka berbohong dalam melindungi temannya.
Rasa senasib, seperjuangan, setia kawan yang melahirkan espirit de corps juga
harus dipahami sebagai produk kebudayaan yang harus dihormati
berkembang diantara anggota polisi. Seringkali bila terjadi kesalahan
diantara salah satu anggota kelompoknya, maka anggota kelompok lainnya
akan berusaha sekuat mungkin melindungi walaupun dengan berbohong
sekalipun. Disadari oleh anggota kelompok itu bahwa tindakan berbohong
juga akan membawa resiko. Namun sebagai seorang pemimpin polisi yang
memahami studi etnografi, memahami bahwa memang itulah kebudayaan yang
terbentuk diantara anggota kelompoknya. Sebagai satu kebudayaan maka
tindakan berbohong dalam rangka melindungi anggota kelompoknya merupakan
sesuatu yang harus diketahui, dipercayai dan dilakukan oleh anggota
kelompok tersebut agar ia diterima sebagai bagian dari kelompoknya.
Penyimpangan atau pelanggaran atas nilai-nilai budaya yang ada, berarti
kesediaan untuk dipisahkan dari kelompoknya. Disinilah letaknya
kemampuan seorang pemimpin polisi untuk memahami salah satu kebudayaan
dari kelompok anggotanya, sehingga dengan pemahaman tersebut dapat
dicari jalan keluar yang paling baik dengan tetap menghargai kebudayaan
yang ada.
- Asas presumption of innocent versus presumption of guilty.
Salah satu asas dalam hukum acara pidana adalah asas presumption of innocent
yaitu asas praduga tidak bersalah, kepada seorang yang disangka
melakukan tindak pidana, patut dianggap tidak bersalah sampai
mendapatkan kekuatan hukum yang tetap dari pengadilan. Asas ini
mengandung makna yang mendalam terutama pada penghormatan hak asasi
manusia dan pembuktian. Akan tetapi dalam kenyataan dilapangan, terutama
pada anggota difungsi reserse, justru berkembang kebudayaan yang
menganut asas presumption of guilty, yaitu menganggap semua
pelaku kejahatan adalah bersalah. Ini juga merupakan satu kebudayaan
yang terbentuk dalam kelompok anggota polisi yang harus dipahami oleh
seorang pemimpin polisi. Pertanyaannya kenapa anggota memiliki backmind
seperti itu?. Hal ini dipahami karena para anggota dengan bekal
pengetahuan yang dialami dari pengalaman bertahun-tahun dan dengan
berbagai kejahatan yang telah dihadapinya, akhirnya terbentuk suatu
pengetahuan bahwa para penjahat harus dibasmi dalam rangka memberikan
perlindungan kepada masyarakat dan penegakkan hukum.
- Asas due process model versus crime control model.
Hampir sama dengan alasan diatas, due process model mensyaratkan bahwa
segala tindakan polisi harus didasarkan pada hukum material KUHAP dan
formal yang ada, misalnya untuk melakukan penangkapan diperlukan surat
perintah penangkapan dan perintah penangkapan tersebut segera diberikan
tembusannya kepada keluarga tersangka. Demikian pula ketika anggota
reserse akan melakukan penyitaan diperlukan surat perintah penyitaan,
izin dari pengadilan negeri dan mininal disaksikan oleh dua orang saksi
dari lingkungan setempat. Namun bekal pengetahuan yang terbentuk dari
pengalaman telah mempengaruhi tingkah laku anggota dalam melakukan
penangkapan, penahanan atau penyitaan yang penting bagi anggota adalah
menangkap dan segera lindungi masyarakat. Kasus-kasus terorisme yang extra ordinary, organized crime, menelan
korban jiwa yang massal dengan tidak pandang bulu korban, organisasi
sangat rahasia (tandzim sirri), sistem sel, dan setiap anggota terroris
ketika ditangkap, maka jawabannya hanya dua kata : “tidak tahu dan atau
lupa”, maka pengetahuan tersebut telah menimbulkan makna bagi tingkah
laku anggota untuk bertindak yang juga sangat cepat, kadangkala
dilakukan tanpa surat perintah, penangkapan dilakukan dengan diam-diam,
tanpa pemberitahuan kepada keluarga tersangka dan seringkali dilakukan
interogasi yang panjang dan melelahkan yang terpaksa harus dilakukan
diluar kantor polisi. Hal ini dilakukan dalam menjawab organized crime,
tandzim sirri dan jawaban yang hanya dua kata :”lupa dan atau tidak
tahu”. Tindakan anggota polisi ini dapat dilihat suatu kebudayaan yang
berlandaskan crime contol model, yang sama sekali bertentangan dengan asas due process model.
- Kewenangan penahanan.
Sesuai dengan aturan hukum material pidana (KUHAP), kewenangan
melakukan penahanan diberikan kepada penyidik, artinya setiap anggota
polisi yang berkualifikasi penyidik baik secara struktural maupun
fungsional pada lingkungan fungsi reserse dapat melakukan penahanan.
Terdapat contoh menarik sebagai kebudayaan dilingkungan fungsi reserse
yang masih berkembang sehubungan dengan penahanan sebagi berikut:
Seorang Kasat Serse yang sekaligus sebagai penyidik suatu ketika
melakukan penahanan terhadap seorang tersangka dengan bukti yang cukup,
untuk itu kemudian dikeluarkan surat perintah penahanan, akan tetapi
ketika tersangka akan dimasukan kedalam ruang tahanan, tiba-tiba
Kapolres memerintahkan untuk mengeluarkan tersangka tersebut, dan kasat
reserse harus mentaati perintah selanjutnya mengeluarkan tersangka yang
telah memenuhi bukti yang cukup itu. Secara kewenangan memang kasat
reserse memiliki kewenangan, namun disisi lain terdapat suatu
nilai-nilai kebudayaan antara seorang atasan dengan bawahan yang disebut
dengan loyalitas untuk selalu dihormati, dipercayai, disepakati dan
dilaksanakan yang mengontrol tingkah laku. Inilah suatu nilai-nilai yang
berkembang sebagai kebudayaan yang perlu dipahami.
Memahami kebudayaan pencari keadilan
Pencari keadilan disini diartikan sebagai para korban, pelapor suatu
tindak pidana, saksi, tersangka dan para penasehat hukum yang
berhubungan dengan polisi ketika diduga telah terjadi tindak pidana.
Studi etnografi juga memberikan pemahaman bahwa mereka memiliki
kebudayaan yang didasarkan atas pengetahuan dan interaksi masing-masing
pengalaman yang perlu dipahami oleh seorang pemimpin polisi dalam
melaksanakan tugas memberikan perlindungan dan pelayanan kepada mereka.
Pemahaman ini diperlukan agar kita dapat mengambil tindakan-tindakan
yang tepat ketika harus berhadapan dengan tingkah laku yang berbeda
dengan harapan kita, berbeda dengan kebudayaan kita.
Studi etnografi juga memberikan pelajaran kepada pemimpin polisi agar
memahami tingkah laku dan sikap dari korban yang sering mendesak polisi
untuk segera menuntaskan perkara yang menimpanya, yang kadangkala
anggota polisi mengaggap korban tidak mau mengetahui berbagai kesulitan
polisi dalam menangani berbagai kasus. Melalui studi etnografi ini
diharapkan setiap anggota polisi yang juga sebagai pemimpin polisi dapat
memahami sikap dari para korban sebagai nilai-nilai kebudayaan yang
tentunya terbentuk melalui proses dan latar belakang tertentu. Pemahaman
akan sikap para korban tentunya disertai sikap menghargai dan empathi
atas sikap yang ditunjukan oleh para korban. Berbagai sikap dari korban
seperti sering bertanya mendesak perkembangan kasus, marah-marah dan
bahkan mencaci anggota polisi karena lambat penanganan perkara, rasa
kurang percaya, sulit dihubungi, sulit berkomunikasi, sulit memberikan
keterangan, dan lain sebagainya. Sikap dan tindakan ini seharusnya
ditarik maknanya, sehingga dapat diketahui apa latar belakang dari
segala tindakan dan sikap para korban tersebut, bukan sebaliknya justru
dianggap tidak menghargai upaya polisi yang justru semakin membuat jarak
antara pelayan dengan yang dilayani, antara pencari fakta dengan
pemilik fakta, antara masyarakat yang memberi wewenang dengan organ
polisi yang diberi wewenang.
Menghadapi sikap dari para tersangka yang suka berbohong, menutupi
perbuatan, sulit memberikan keterangan, atau menghadapi tindakan brutal
tersangka kepada korban, sadistis atau bahkan membunuh, maka melalui
studi etnografi ini, para anggota polisi harus mampu menggali asal-usul
tindakan tersebut dilakukan, pengalaman apa yang membentuk pengetahuan
tersangka sampai akhirnya melakukan tingkah laku dan perbuatan tersebut.
Seorang tersangka yang melakukan penganiayaan dan tindakan kekerasan
terhadap orang lain, maka perlu dipahami bahwa tindakannya itu sebagai
akumulasi dari berbagai pengalaman dan situasi yang dialami oleh
tersangka tersebut, sehingga tidak tepat apabila tersangka yang ketika
diminta keterangannya kemudian mendapatkan kekerasan oleh anggota polisi
karena sulit memberikan keterangan atau tidak mau bicara atau tidak
mengakui perbuatannya. Seharusnya, seorang anggota reserse, segera
memahami tindakan tersangka tersebut dan menarik makna yang terkandung
dan yang menyebabkan kenapa tersangka bertindak seperti itu dan mengapa
tersangka tidak mau atau sulit diambil keterangannya. Dengan mengetahui
latar belakang tindakan tersebut dilakukan tentunya akan memudahkan
untuk mengetahui kejadian yang terjadi, barang bukti yang digunakan atau
biasa disimpan, orang terdekat yang dapat diajak bicara, dan memudahkan
membangun komunikasi dengan tersangka.
Demikian pula dalam memahami kebudayaan dari para penasehat hukum yang
selalu ingin dianggap “berharga” dan “penting” didepan klien-nya.
Anggota reserse perlu memahami ini sebagai penghargaan atas profesi
mereka dan mendukung para penasehat hukum tersebut, sehingga tercipta
komunikasi yang harmonis dan saling menghargai antara penyidik dengan
penasehat hukum. Memahami tidak berarti mengalah, tetapi lebih merupakan
mencari makna dari setiap tindakan, gejala dan peristiwa sehingga dapat
ditemukan asal-usul terjadinya tindakan, gejala dan peristiwa, yang
kemudian memahami dimana letak critical point yang dapat dimanfaatkan untuk mensinergikan antara kebudayaan mereka dengan pencapaian tujuan kita.
Memahami kebudayaan masyarakat disekitar daerah tugas
Studi etnografi memberikan pengetahuan kepada anggota polisi, untuk
memahami berbagai kebudayaan yang ada dalam suatu kelompok masyarakat,
bahkan dalam satu komunitas. Manfaat dari pemahaman dari kebudayaan yang
berkembang tersebut adalah :
- Studi etnografi dapat digunakan untuk menemukan pemecahan masalah secara lokal yang belum tentu dapat diterapkan diwilayah lain.
- Studi etnografi dapat segera memahami tingkah laku dari warga masyarakat dalam menghadapi suatu peristiwa, sehingga dari pemahaman tersebut seorang anggota polisi darpat melakukan antisipasi dini. Misalnya, kebiasaan masyarakat dikampung Pondok Pinang yang gemar bermain dengan petasan ketika malam takbiran lebaran Iedul Fitri atau pada malam tahun baru. Kebiasaan ini sudah menjadi bagian dari kebudayaan dari warga disatu komunitas, sehingga diperlukan tindakan pemahaman tentang bahaya bermain petasan menjelang malam takbiran dan malam tahun baru, serta pengawasan tempat-tempat umum agar tidak terjadi kebakaran atau kerusakan yang meluas.
- Studi etnografi dapat membantu mempermudah mencari para opinion leader dan informal leader pada satu komunitas.
- Studi etnografi membantu mempermudah penyusunan peta potensi konflik diwilayah tugas. Kasus terbunuhnya dua orang simpatisan partai politik di kabupaten Buleleng Singaraja Bali, merupakan salah satu contoh rendahnya pemahaman akan studi etnografi. Apabila seorang pimpinan polisi setempat mengetahui bahwa disatu wilayahnya terdapat kelompok yang sangat fanatik dengan satu partai politik dan sulit menerima kehadiran partai politik yang lain, maka ini sudah merupakan satu point tentang adanya potensi konflik disatu daerah, seharusnya ini sudah dipetakan dan disampaikan kepada seluruh anggota untuk diketahui dan diantisipasi. Ditambah dengan rekor kasus tertinggi di kabupaten Buleleng adalah perkelahian antar kelompok yang mudah sekali dipicu karena minum-minuman keras, balap sepeda motor, bahkan dalam pertandingan sepakbola antara kelurahan. Dua potensi konflik ini bila bertemu satu dengan lainnya, maka dapat diprediksi akan menimbulkan kerusahan massa yang setidaknya dapat menimbulkan kerugian materi bahkan kerugian jiwa.
- Studi etnografi mempermudah pemetaan penempatan anggota secara reguler stationer pada daerah-daerah rawan pelanggaran yang memerlukan kehadiran polisi sebagai pelayan dan pencipta keteraturan sosial.
- Studi etnografi memberikan pengetahuan kepada anggota polisi tentang bagaimana dia harus bersikap, bertutur kata dan bertindak dalam satu komunitas, baik ketika melakukan kegiatan pemolisian maupun ketika melakukan penegakkan hukum.
- Studi etnografi memberikan informasi tentang harapan dan keluhan masyarakat tentang keamanan dilingkungannya.
- Studi etnografi memberikan gambaran yang murni tentang pandangan, harapan dan penilaian masyarakat terhadap polisinya.
- Dan studi etnografi juga membantu mempermudah menjelaskan tentang tugas-tugas polisi kepada masyarakat.
Perlunya kemampuan komunikasi untuk sampaikan makna
Akhirnya dalam studi etnografi disadari betapa pentingnya kemampuan
komunikasi dari anggota polisi, artinya diperlukan kemampuan untuk
memahami makna yang terkandung dalam sikap dan tindakan masyarakat serta
sebaliknya diperlukan kemampuan menyampaikan pesan-pesan dari anggota
polisi kepada masyarakat, agar tidak terjadi distorsi dalam arus
komunikasi yang terjadi.
Memahami makna dari tindakan dan sikap masyarakat diperlukan pengamatan
dan wawancara yang berulang-ulang dan membandingkan dengan informasi
dari berbagai pihak, untuk itu kemampuan untuk menganalisa, memilih
informan (baca: informan dari terminologi penelitian etnografi) dan
interpretasi harus dilakukan dengan pendekatan mencari kebenaran dan
kevalidan atas data dan informasi yang didapat.
Disisi lain, setelah memahami berbagai makna yang muncul dari berbagai
simbol-simbol kebudayaan suatu masyarakat, maka selanjutnya diperlukan
kemampuan berkomunikasi bagi anggota polisi untuk menyampaikan tentang
tugas-tugas polisi dan makna dari berbagai tindakan polisi.
Demikianlah beberapa manfaat memahami studi etnografi bagi Polri,
semoga pengetahuan ini dapat juga diketahui oleh rekan-rekan saya,
pemimpin polisi pelayan masyarakat sejati, dan saya akan berusaha untuk
menyampaikannya walaupun dengan keterbatasan pengetahuan tentang studi
etnografi yang saya miliki, sehingga mereka juga dapat memahami berbagai
keragaman kebudayaan yang ada didaerah tugas sebagai kekayaan dan
sumberdaya yang mampu menjadi komplementer bagi pencapaian keteraturan
sosial. Semoga.
#polribaginegeri
#timonlinemedsospoldajatim
#komunitasbloggerpoldajatim
#sosiologiunesa2015
#polribaginegeri
#timonlinemedsospoldajatim
#komunitasbloggerpoldajatim
#sosiologiunesa2015
No comments:
Post a Comment